A R T I K E L

Jumat, 24 Oktober 2008

Peranan Perempuan dan Keterwakilan dalam Pemilu

Oleh: Fitriyah (SUARA MERDEKA, 27 Januari 2004)

DARI waktu ke waktu, kesempatan perempuan untuk ikut menentukan nasib sendiri melalui kesertaannya dalam pembuatan kebijakan publik, dan dalam menentukan pejabat publik masih juga terbatas. Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang lahir di Indonesia tidak sensitif gender. Demikian pula diratifikasikannya konvensi PBB mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No 7/1984, juga belum menjamin hapusnya diskriminasi atas perempuan.

Sementara populasi perempuan, dan juga jumlah pemilih perempuan, jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, sehingga hal itu menjadi tidak sebanding dengan realitas minimnya produk politik yang memihak pada kepentingan perempuan.

Begitu pula sebagai representasi penduduk, lembaga DPR juga tidak mengagendakan masalah kekerasan terhadap perempuan, masalah kesehatan reproduksi, masalah pendidikan anak, gizi buruk anak, dan lain-lain. Legislatif tampaknya lebih asyik membicarakan kasus Bank Bali, Buloggate, dan gate-gate lainnya.

Karena itu, kehadiran wakil perempuan di lembaga legislatif menjadi ''oase'' bagi perempuan. Diharapkan aspirasi kaum hawa tersebut dapat terakomodasi. Ketika disadari jumlah mereka di lembaga legislatif tidak signifikan, maka mereka pun tidak jera-jera melakukan sejumlah upaya untuk meningkatkannya melalui intervensi struktural, termasuk berupa affirmative action lewat penerapan kuota 30% perempuan calon legislatif.

Angka 30% tersebut bukan angka yang muncul tiba-tiba tanpa suatu kalkulasi hitungan yang strategis. Kajian-kajian Cetro menunjukkan bahwa angka itu merupakan jumlah keterwakilan minimal bagi suatu kelompok agar sebuah kelompok dapat memengaruhi proses kebijakan, atau membuat aliansi-aliansi di antara berbagai kelompok (Kompas, 17-5-2002).

Harapan itu wajar mengingat di sejumlah negara yang juga memberlakukan kuota itu juga merasakan perubahan yang signifikan atas nasib perempuan melalui lahirnya kebijakan yang berpihak pada kepentingan kaum hawa. Diduga kecilnya representasi politik perempuan sudah barang tentu akan berdampak pada kontribusi maksimal yang bisa diberikan dalam pengambilan keputusan maupun untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan, baik di partai politik maupun parlemen.

Bagaimanapun harus disadari ada ''kelebihan'' perempuan dibandingkan dengan laki-laki adalah ketajamannya untuk melihat yang ''detial'' yang sering luput dari perhatian laki-laki. Padahal, itu seharusnya tampak dalam kebijakan publik yang diambil. Dengan kata lain, kepentingan kaum perempuan hanya mampu dipahami oleh perempuan. Terkait dengan hal itu, representativitas politik perempuan merupakan kebutuhan.

Ideologi patriarki, yakni yang meletakkan posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, yang dianut oleh masyarakat kita, menyebabkan peran perempuan dalam politik formal menjadi sulit. Rendahnya representasi perempuan di parlemen berpengaruh terhadap cara pandang dalam menyelesaikan masalah politik, ekonomi, maupun sosial di Indonesia.

Persoalan-persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI), kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, serta masalah kesehatan reproduksi, mustahil diselesaikan tanpa ada perubahan paradigma dalam kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan (Ani Soetjipto, Kompas, 23-9-2002).

Harus diakui tanpa jumlah yang signifikan, perempuan tetap tidak pernah dapat memengaruhi pembuatan kebijakan publik. Rendahnya tingkat keterwakilan mereka di lembaga pengambil/pembuat keputusan politik (lihat tabel) menyebabkan tidak terwakilinya aspirasi kepentingan perempuan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tidak sensitif gender adalah contoh dari tidak terwakilinya kepentingan aspirasi perempuan.

Pemberdayaan Perempuan

Representasi perempuan tidak saja berarti meningkatnya jumlah mereka dalam lembaga-lembaga politik formal, tetapi terutama terwakilinya kepentingan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal itu berarti tidak cukup hanya dengan peningkatan jumlah melalui kuota 30%, tetapi perlu pendidikan politik perempuan, sehingga wakil-wakil perempuan itu mampu menangkap isu-isu yang berkaitan dengan aspirasi kepentingannya.

Sangat menarik membaca laporan PBB bahwa di negara-negara yang mengalami tragedi malnutrisi gizi buruk, pada umumnya terjadi diskriminasi sosial terhadap perempuan. Atas dasar itu, direkomendasikan untuk melindungi hak-hak perempuan guna melindungi anak-anak dari ancaman malnutrisi (Swara, No 23, 29-7-1999).

Perjuangan untuk memperoleh hak-haknya itu dimulai dengan menjadi pemilih otonom, yakni memilih dengan kesadaran sendiri atas partai politik dan wakil-wakilnya yang punya komitmen terhadap kepentingan mereka. Diharapkan dengan UU Pemilu No 12/2003 akan ada perubahan yang signifikan atas keterwakilan perempuan di lembaga parlemen, baik dalam gagasan (representation in ideas), yakni ditunjukkan melalui adanya program-program partai politik yang sensitif gender, maupun dalam kehadiran (representation in presence). Diharapkan dengan keterwakilan itu akan ada perubahan yang signifikan pula atas nasib perempuan ke depan.(Dra Fitriyah MA, ketua KPU Jateng-69t).


Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga DPR (1955-1999)

Pemilu Jumlah Total Anggota
Anggota DPR Perempuan %
1955 272 - 17 6,3
1971 460 - 23 5,1
1977 460 - 33 7,2
1982 460 - 39 8,5
1987 500 - 50 10
1992 500 - 54 10,8
1997 500 - 58 11,6
1999 500 - 45 9,0
Sumber: Litbang Kompas (24-2-2003)

Tidak ada komentar: