Oleh : Setiana W
Why and what is the importance of doing this activity? That when all people talk about Human Right, then they all think something great, such as human right violation against social activity, international war and agaist others concerned with common peaple’s life.
In Indonesia, if we talk about human right, then we will remind the time approaching East Timor independence from Indonesia. There was total destruction against Dilli and assaination of a number of East Timoreese pro-independence activists. So far, Human Right violation in East Timor is still an unnended issue.
When an official engages in corruption of school development, he has, aotomatically grabbed right of a number of students, who should enjoy sufficient and better school facilities. But they utilize insufficient facilities becoause of the robbery.
In the same way, there are no people concerned on children’s human right, including parents who neglect their children’s right. Therefore, parent should early and comprehensively understand children’s right. Whereas children, who haves understanding on the right of study must be aware to their rights. As the result, they will be able to claim their right, if their parents neglect it.
As we know that in Indonesia, we celebrate July 23, as the National Children day, where Indonesian children have strategic value. It is a moment to move all Indonesian awareness and participation in respecting and guaranteeing children’s right without discrimination, by giving their best for children, guaranteeing to the fullest extent possible for their sustainability and growth besides respecting children’s opinion.
Children are invaluable future asset. In the other word, the nation’s future will be depending on the parent’s responsibility. In this case, future of mankind will be in hand of children. That is why, it is normal for every parent realizing issue on preparing better strategy of children’s education. In addition, children’s growth should also be concerned in the frame of giving children orientation and education toward their hopes. Then concern on children’s right has been a must to realize a hope of developing qualified future generation.
Concerning children’s right, various countries generally refer to what has been ratified by UNO. Among of which, as stated by Universal Declaration of Human Rights, is on children’s human rights as properly detailed, based on their physical and mental development, such as: right of mother’s milk, right of parent and adult’s love in the whole types, besides right of play, either with or without using playing tools, which is physically, biologically and psychologically safe.
Children’s right is granted by Children’s right convention. It is an international agreement on Children’s right. Convention, also called as covenant or treaty, is an international agreement. The agreement binds legally and politically. That is why all of the signing countries must approve and meet Children’s right. Children’s right convention has been approved by General Assembly of the UN on November 20, 1989 and enacted on September 2, 2002, as an international law.
Children’s right is intrinsic and part of the human right. In connection with the principles, as stated in Universal Declaration of Human Rights, children’s right is an acknowledgement on intrinsic dignity owned by other family member, which is irrevocable. It is a foundation of independence, justice and peace for all human being.
Thus, child (up to 18 years old) has rights acknowledged by the state. We must understand the right in order to ensure that it will not be violated, but met by the state and community. Anyone must be informed that a child has the right, by which will be foundation for better life.
Because children’s right is part of human right, then there is no chance to deny its fulfillment, no matter the reason is. Neglecting the rights violation means to let heavier one occurred against many others. So, stop violation against children’s right by voicing that we disagree with violation against children’s right.
Selasa, 28 Oktober 2008
Hak Anak
Oleh : Setiana Widjaja
Ketika saya belajar pelatihan di Strasbourg , Prancis , saya mendapatkan banyak pengetahuan yang berkenaan dengan hak asasi manusia. Salah satu yang terpenting dari bagian hak asasi manusia yang menarik perhatian saya adalah hak anak- anak. Hak asasi manusia dimulai dengan hak anak-anak. Dalam Deklarasi sedunia mengenai hak asasi manusia dinyatakan bahwa setiap anggota suatu suku berhak atas martabat dan hak dasar yang sama. Hak terhadap martabat berarti bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dihargai dan mempunyai nilai sebagai manusia.
Anak-anak adalah manusia juga. Mereka mempunyai hak atas hak-hak prinsip manusia dan mempunyai hak atas dasar martabat , dan dinilai sebagai manusia. Karena itulah mengapa konvensi hak-hak anak-anak dibuat –untuk melindungi dan mengutamakan hak-hak anak-anak dan memberikan pedoman untuk memantau serta memperbaiki dimana terjadi kekerasan.
Semua anak-anak mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan pokoknya , bukan hanya untuk kebutuhan hidup dan perlindungan tapi juga mampu mengembangkan potensi mereka, ikut serta sebagai anggota masyarakat ( sesuai usia mereka , dan tumbuh menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab ).
Ungkapan hak asasi manusia bagi anak-anak mempertimbangkan kebutuhan anak-anak –kebutuhan yang harus dipenuhi bagi anak-anak untuk mendapatkan kebahagiaan dan terpenuhinya masa kanak-kanak sehingga mereka bisa tumbuh menjadi kuat seperti :
1. Kelangsungan hidup : anak-anak penting dan mutlak mempunyai hak untuk hidup – terpenuhinya kebutuhan fisik yang pokok makanan , tempat tinggal, keselamatan dan perawatan kesehatan .
2. Perlindungan : Mereka juga perlu perlindungan dari cidera dan bahaya , bukan hanya fisik tetapi juga emosi
3. Perkembangan : mereka perlu memiliki semua hal yang akan bisa membantu mereka tumbuh dan berkembang . Mereka perlu teman , keluarga , cinta dan kasih sayang .mereka perlu mendapatkan udara yang segar dan tempat bermain yang aman.mereka perlu cerita dan musik , sekolah dan perpustakaan dan semua yang merangsang otak. Mereka perlu mempraktekkan budaya dan agama mereka dan mengembangkan pemahaman perasaan .
4. Partisipasi : mereka perlu memberi dalam kehidupan keluarga mereka, sekolah, masyarakat dan bangsa , tanggung jawab dan suara.
Dari hal-hal ini , kita tahu bahwa kebutuhan anak-anak harus dipahami secara sendiri-sendiri dan secara kesatuan dalam memperhatikan seluruh anak dan semua hak-hak dan kebutuhan berlaku pada setiap anank tanpa ada perbedaan / diskriminasi berdasarkan ras, budaya, agama, jenis kelamin , kelas , kemampuan atau usia .
Hak-hak juga harus mempertimbangkan fakta bahwa setiap anak berbeda dan mempunyai kebutuhan khusus yang berbeda sesuai dengan usia, karakter dan kematangan ; dan kebutuhan ini berubah ketika anak tumbuh menjadi dewasa.
Anak – anak dengan kebutuhan khusus seperti mereka mempunyai kemampuan fisik dan mental yang kurang atau yang lebih mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka .Anak-anak lain dengan hak khusus adalah mereka yang mempunyai keistimewaan lingkungan yang sulit – mereka yang berada di wilayah tempat terjadinya perang , pengungsian , penyalahgunaan , penyanderaan , mereka yang menderita kemiskinan , mereka yang terlibat mempekerjakan anak , anak-anak hidup menderita HIV/AIDS.). Di dalam masyarakat kita kebutuhan dan hak-hak setiap anak dipengaruhi secara tidak baik oleh budaya kekerasan . Berita –berita dipenuhi dengan cerita mengenai kekerasan . Pemandangan kekerasan pada acara televisi semakin meningkat dan menjadi lebih nyata dan menakutkan .Itu adalah pandangan kekerasan yang masih ada pada ingatan anak-anak. Terdapat kecenderungan yang menakutkan bahwa pandangan seksual, ketidaksesuaian pada anak-anak termasuk kekerasan. Selain itu, tingkat penyalahgunaan anak semakin meningkat tajam. Anak-anak yang diciderai semakin banyak yang berusaha menciderai anak-anak lainnya. Bisa saja terjadi kekerasaan dimulai dari rumah dan menjadi kebiasaan. Kemudian berkembang kekerasaan ke tempat-tempat pusat keramaian, dan disekolah dimana mereka mendapatkan pengalaman kekerasaan dari teman kelompok dan juga dari guru ( meskipun hukuman fisik dilarang ole perundangan ).
Anak-anak dan remaja terperangkap dalam lingkaran kekerasaan dimana mereka tidak dilindungi dan tidak bisa berkembang penuh. Mereka kurang mempunyai kesempatan untuk menghentikan lingkaran itu, dan sembuh dari cidera yang mereka derita dan tumbuh bertanggung jawab terhadap kekerasan – dimulai dari korban dan diakhiri sebagai pelaku.
Dalam melakukan tindakan untuk hak-hak anak-anak kita perlu memahami sebab kekerasaan di dalam masyarakat kita dan akibatnya pada kehidupan anak-anak, dan melihat adanya intervensi yang akan memecahkan rantai kekerasan baik secara umum maupun untuk anak-anak khususnya.
Maka dari itu anak-anak memerlukan perlindungan karena mereka sangat rentan . mereka secara fisik lebih lemah dibanding dengan orang dewasa dan bahkan mereka tidak bisa mendapatkan bantuan atau mudah ditakut-takuti supaya diam adanya kekerasan ,lebih mudah menyuap atau mengancam sehingga mereka tidak berpengalaman dan mudah ditipu. Anak-anak juga lebih beresiko bahaya emosi yang disebabkan kekerasan karena mereka percaya bahwa orang-orang dewasa dalam keluarga mereka semuanya mepunyai kekuatan dan pengetahuan dan akan melindungi mereka, dan ketika hal itu tidak terjadi mereka merasa dibohongi dan dalam keadaan bahaya.
Kekerasaan dapat terjadi di dalam keluarga mereka sendiri .Beberapa orang dewasa kasar dan menyalahgunakan dan hukuman fisik yang buruk merupakan hal umum. Terlebih lagi penyalahgunaan seks terhadap anak-anak biasanya terjadi dalam keluarga atau oleh orang lain yang mengetahui anak tersebut. Di sekolah, bnayak anak-anak yang mengalami kekerasan jika tidak dari guru juga dari teman .
Maka sangat penting bagi kita orang dewasa melindungi anak-anak semaksimal mungkin dari segala sesuatu yang bisa melukai mereka atau membuat mereka menjadi tidak bahagia. Kita perlu membantu anak-anak tidak hanya aman secara fisik tapi juga
secara emosi.
Dari ini semua kita percaya bahwa anak-anak yang hak-haknya di hormati dan dilindungi akan tumbuh berkembang menjadi orang-orang dewasa yang sangat menghormati hak orang lain .
Ketika saya belajar pelatihan di Strasbourg , Prancis , saya mendapatkan banyak pengetahuan yang berkenaan dengan hak asasi manusia. Salah satu yang terpenting dari bagian hak asasi manusia yang menarik perhatian saya adalah hak anak- anak. Hak asasi manusia dimulai dengan hak anak-anak. Dalam Deklarasi sedunia mengenai hak asasi manusia dinyatakan bahwa setiap anggota suatu suku berhak atas martabat dan hak dasar yang sama. Hak terhadap martabat berarti bahwa setiap orang mempunyai hak untuk dihargai dan mempunyai nilai sebagai manusia.
Anak-anak adalah manusia juga. Mereka mempunyai hak atas hak-hak prinsip manusia dan mempunyai hak atas dasar martabat , dan dinilai sebagai manusia. Karena itulah mengapa konvensi hak-hak anak-anak dibuat –untuk melindungi dan mengutamakan hak-hak anak-anak dan memberikan pedoman untuk memantau serta memperbaiki dimana terjadi kekerasan.
Semua anak-anak mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan pokoknya , bukan hanya untuk kebutuhan hidup dan perlindungan tapi juga mampu mengembangkan potensi mereka, ikut serta sebagai anggota masyarakat ( sesuai usia mereka , dan tumbuh menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab ).
Ungkapan hak asasi manusia bagi anak-anak mempertimbangkan kebutuhan anak-anak –kebutuhan yang harus dipenuhi bagi anak-anak untuk mendapatkan kebahagiaan dan terpenuhinya masa kanak-kanak sehingga mereka bisa tumbuh menjadi kuat seperti :
1. Kelangsungan hidup : anak-anak penting dan mutlak mempunyai hak untuk hidup – terpenuhinya kebutuhan fisik yang pokok makanan , tempat tinggal, keselamatan dan perawatan kesehatan .
2. Perlindungan : Mereka juga perlu perlindungan dari cidera dan bahaya , bukan hanya fisik tetapi juga emosi
3. Perkembangan : mereka perlu memiliki semua hal yang akan bisa membantu mereka tumbuh dan berkembang . Mereka perlu teman , keluarga , cinta dan kasih sayang .mereka perlu mendapatkan udara yang segar dan tempat bermain yang aman.mereka perlu cerita dan musik , sekolah dan perpustakaan dan semua yang merangsang otak. Mereka perlu mempraktekkan budaya dan agama mereka dan mengembangkan pemahaman perasaan .
4. Partisipasi : mereka perlu memberi dalam kehidupan keluarga mereka, sekolah, masyarakat dan bangsa , tanggung jawab dan suara.
Dari hal-hal ini , kita tahu bahwa kebutuhan anak-anak harus dipahami secara sendiri-sendiri dan secara kesatuan dalam memperhatikan seluruh anak dan semua hak-hak dan kebutuhan berlaku pada setiap anank tanpa ada perbedaan / diskriminasi berdasarkan ras, budaya, agama, jenis kelamin , kelas , kemampuan atau usia .
Hak-hak juga harus mempertimbangkan fakta bahwa setiap anak berbeda dan mempunyai kebutuhan khusus yang berbeda sesuai dengan usia, karakter dan kematangan ; dan kebutuhan ini berubah ketika anak tumbuh menjadi dewasa.
Anak – anak dengan kebutuhan khusus seperti mereka mempunyai kemampuan fisik dan mental yang kurang atau yang lebih mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka .Anak-anak lain dengan hak khusus adalah mereka yang mempunyai keistimewaan lingkungan yang sulit – mereka yang berada di wilayah tempat terjadinya perang , pengungsian , penyalahgunaan , penyanderaan , mereka yang menderita kemiskinan , mereka yang terlibat mempekerjakan anak , anak-anak hidup menderita HIV/AIDS.). Di dalam masyarakat kita kebutuhan dan hak-hak setiap anak dipengaruhi secara tidak baik oleh budaya kekerasan . Berita –berita dipenuhi dengan cerita mengenai kekerasan . Pemandangan kekerasan pada acara televisi semakin meningkat dan menjadi lebih nyata dan menakutkan .Itu adalah pandangan kekerasan yang masih ada pada ingatan anak-anak. Terdapat kecenderungan yang menakutkan bahwa pandangan seksual, ketidaksesuaian pada anak-anak termasuk kekerasan. Selain itu, tingkat penyalahgunaan anak semakin meningkat tajam. Anak-anak yang diciderai semakin banyak yang berusaha menciderai anak-anak lainnya. Bisa saja terjadi kekerasaan dimulai dari rumah dan menjadi kebiasaan. Kemudian berkembang kekerasaan ke tempat-tempat pusat keramaian, dan disekolah dimana mereka mendapatkan pengalaman kekerasaan dari teman kelompok dan juga dari guru ( meskipun hukuman fisik dilarang ole perundangan ).
Anak-anak dan remaja terperangkap dalam lingkaran kekerasaan dimana mereka tidak dilindungi dan tidak bisa berkembang penuh. Mereka kurang mempunyai kesempatan untuk menghentikan lingkaran itu, dan sembuh dari cidera yang mereka derita dan tumbuh bertanggung jawab terhadap kekerasan – dimulai dari korban dan diakhiri sebagai pelaku.
Dalam melakukan tindakan untuk hak-hak anak-anak kita perlu memahami sebab kekerasaan di dalam masyarakat kita dan akibatnya pada kehidupan anak-anak, dan melihat adanya intervensi yang akan memecahkan rantai kekerasan baik secara umum maupun untuk anak-anak khususnya.
Maka dari itu anak-anak memerlukan perlindungan karena mereka sangat rentan . mereka secara fisik lebih lemah dibanding dengan orang dewasa dan bahkan mereka tidak bisa mendapatkan bantuan atau mudah ditakut-takuti supaya diam adanya kekerasan ,lebih mudah menyuap atau mengancam sehingga mereka tidak berpengalaman dan mudah ditipu. Anak-anak juga lebih beresiko bahaya emosi yang disebabkan kekerasan karena mereka percaya bahwa orang-orang dewasa dalam keluarga mereka semuanya mepunyai kekuatan dan pengetahuan dan akan melindungi mereka, dan ketika hal itu tidak terjadi mereka merasa dibohongi dan dalam keadaan bahaya.
Kekerasaan dapat terjadi di dalam keluarga mereka sendiri .Beberapa orang dewasa kasar dan menyalahgunakan dan hukuman fisik yang buruk merupakan hal umum. Terlebih lagi penyalahgunaan seks terhadap anak-anak biasanya terjadi dalam keluarga atau oleh orang lain yang mengetahui anak tersebut. Di sekolah, bnayak anak-anak yang mengalami kekerasan jika tidak dari guru juga dari teman .
Maka sangat penting bagi kita orang dewasa melindungi anak-anak semaksimal mungkin dari segala sesuatu yang bisa melukai mereka atau membuat mereka menjadi tidak bahagia. Kita perlu membantu anak-anak tidak hanya aman secara fisik tapi juga
secara emosi.
Dari ini semua kita percaya bahwa anak-anak yang hak-haknya di hormati dan dilindungi akan tumbuh berkembang menjadi orang-orang dewasa yang sangat menghormati hak orang lain .
Jumat, 24 Oktober 2008
Peranan Perempuan dan Keterwakilan dalam Pemilu
Oleh: Fitriyah (SUARA MERDEKA, 27 Januari 2004)
DARI waktu ke waktu, kesempatan perempuan untuk ikut menentukan nasib sendiri melalui kesertaannya dalam pembuatan kebijakan publik, dan dalam menentukan pejabat publik masih juga terbatas. Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang lahir di Indonesia tidak sensitif gender. Demikian pula diratifikasikannya konvensi PBB mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No 7/1984, juga belum menjamin hapusnya diskriminasi atas perempuan.
Sementara populasi perempuan, dan juga jumlah pemilih perempuan, jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, sehingga hal itu menjadi tidak sebanding dengan realitas minimnya produk politik yang memihak pada kepentingan perempuan.
Begitu pula sebagai representasi penduduk, lembaga DPR juga tidak mengagendakan masalah kekerasan terhadap perempuan, masalah kesehatan reproduksi, masalah pendidikan anak, gizi buruk anak, dan lain-lain. Legislatif tampaknya lebih asyik membicarakan kasus Bank Bali, Buloggate, dan gate-gate lainnya.
Karena itu, kehadiran wakil perempuan di lembaga legislatif menjadi ''oase'' bagi perempuan. Diharapkan aspirasi kaum hawa tersebut dapat terakomodasi. Ketika disadari jumlah mereka di lembaga legislatif tidak signifikan, maka mereka pun tidak jera-jera melakukan sejumlah upaya untuk meningkatkannya melalui intervensi struktural, termasuk berupa affirmative action lewat penerapan kuota 30% perempuan calon legislatif.
Angka 30% tersebut bukan angka yang muncul tiba-tiba tanpa suatu kalkulasi hitungan yang strategis. Kajian-kajian Cetro menunjukkan bahwa angka itu merupakan jumlah keterwakilan minimal bagi suatu kelompok agar sebuah kelompok dapat memengaruhi proses kebijakan, atau membuat aliansi-aliansi di antara berbagai kelompok (Kompas, 17-5-2002).
Harapan itu wajar mengingat di sejumlah negara yang juga memberlakukan kuota itu juga merasakan perubahan yang signifikan atas nasib perempuan melalui lahirnya kebijakan yang berpihak pada kepentingan kaum hawa. Diduga kecilnya representasi politik perempuan sudah barang tentu akan berdampak pada kontribusi maksimal yang bisa diberikan dalam pengambilan keputusan maupun untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan, baik di partai politik maupun parlemen.
Bagaimanapun harus disadari ada ''kelebihan'' perempuan dibandingkan dengan laki-laki adalah ketajamannya untuk melihat yang ''detial'' yang sering luput dari perhatian laki-laki. Padahal, itu seharusnya tampak dalam kebijakan publik yang diambil. Dengan kata lain, kepentingan kaum perempuan hanya mampu dipahami oleh perempuan. Terkait dengan hal itu, representativitas politik perempuan merupakan kebutuhan.
Ideologi patriarki, yakni yang meletakkan posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, yang dianut oleh masyarakat kita, menyebabkan peran perempuan dalam politik formal menjadi sulit. Rendahnya representasi perempuan di parlemen berpengaruh terhadap cara pandang dalam menyelesaikan masalah politik, ekonomi, maupun sosial di Indonesia.
Persoalan-persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI), kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, serta masalah kesehatan reproduksi, mustahil diselesaikan tanpa ada perubahan paradigma dalam kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan (Ani Soetjipto, Kompas, 23-9-2002).
Harus diakui tanpa jumlah yang signifikan, perempuan tetap tidak pernah dapat memengaruhi pembuatan kebijakan publik. Rendahnya tingkat keterwakilan mereka di lembaga pengambil/pembuat keputusan politik (lihat tabel) menyebabkan tidak terwakilinya aspirasi kepentingan perempuan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tidak sensitif gender adalah contoh dari tidak terwakilinya kepentingan aspirasi perempuan.
Pemberdayaan Perempuan
Representasi perempuan tidak saja berarti meningkatnya jumlah mereka dalam lembaga-lembaga politik formal, tetapi terutama terwakilinya kepentingan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal itu berarti tidak cukup hanya dengan peningkatan jumlah melalui kuota 30%, tetapi perlu pendidikan politik perempuan, sehingga wakil-wakil perempuan itu mampu menangkap isu-isu yang berkaitan dengan aspirasi kepentingannya.
Sangat menarik membaca laporan PBB bahwa di negara-negara yang mengalami tragedi malnutrisi gizi buruk, pada umumnya terjadi diskriminasi sosial terhadap perempuan. Atas dasar itu, direkomendasikan untuk melindungi hak-hak perempuan guna melindungi anak-anak dari ancaman malnutrisi (Swara, No 23, 29-7-1999).
Perjuangan untuk memperoleh hak-haknya itu dimulai dengan menjadi pemilih otonom, yakni memilih dengan kesadaran sendiri atas partai politik dan wakil-wakilnya yang punya komitmen terhadap kepentingan mereka. Diharapkan dengan UU Pemilu No 12/2003 akan ada perubahan yang signifikan atas keterwakilan perempuan di lembaga parlemen, baik dalam gagasan (representation in ideas), yakni ditunjukkan melalui adanya program-program partai politik yang sensitif gender, maupun dalam kehadiran (representation in presence). Diharapkan dengan keterwakilan itu akan ada perubahan yang signifikan pula atas nasib perempuan ke depan.(Dra Fitriyah MA, ketua KPU Jateng-69t).
Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga DPR (1955-1999)
Pemilu Jumlah Total Anggota
Anggota DPR Perempuan %
1955 272 - 17 6,3
1971 460 - 23 5,1
1977 460 - 33 7,2
1982 460 - 39 8,5
1987 500 - 50 10
1992 500 - 54 10,8
1997 500 - 58 11,6
1999 500 - 45 9,0
Sumber: Litbang Kompas (24-2-2003)
DARI waktu ke waktu, kesempatan perempuan untuk ikut menentukan nasib sendiri melalui kesertaannya dalam pembuatan kebijakan publik, dan dalam menentukan pejabat publik masih juga terbatas. Akibatnya, berbagai kebijakan publik yang lahir di Indonesia tidak sensitif gender. Demikian pula diratifikasikannya konvensi PBB mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No 7/1984, juga belum menjamin hapusnya diskriminasi atas perempuan.
Sementara populasi perempuan, dan juga jumlah pemilih perempuan, jauh lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, sehingga hal itu menjadi tidak sebanding dengan realitas minimnya produk politik yang memihak pada kepentingan perempuan.
Begitu pula sebagai representasi penduduk, lembaga DPR juga tidak mengagendakan masalah kekerasan terhadap perempuan, masalah kesehatan reproduksi, masalah pendidikan anak, gizi buruk anak, dan lain-lain. Legislatif tampaknya lebih asyik membicarakan kasus Bank Bali, Buloggate, dan gate-gate lainnya.
Karena itu, kehadiran wakil perempuan di lembaga legislatif menjadi ''oase'' bagi perempuan. Diharapkan aspirasi kaum hawa tersebut dapat terakomodasi. Ketika disadari jumlah mereka di lembaga legislatif tidak signifikan, maka mereka pun tidak jera-jera melakukan sejumlah upaya untuk meningkatkannya melalui intervensi struktural, termasuk berupa affirmative action lewat penerapan kuota 30% perempuan calon legislatif.
Angka 30% tersebut bukan angka yang muncul tiba-tiba tanpa suatu kalkulasi hitungan yang strategis. Kajian-kajian Cetro menunjukkan bahwa angka itu merupakan jumlah keterwakilan minimal bagi suatu kelompok agar sebuah kelompok dapat memengaruhi proses kebijakan, atau membuat aliansi-aliansi di antara berbagai kelompok (Kompas, 17-5-2002).
Harapan itu wajar mengingat di sejumlah negara yang juga memberlakukan kuota itu juga merasakan perubahan yang signifikan atas nasib perempuan melalui lahirnya kebijakan yang berpihak pada kepentingan kaum hawa. Diduga kecilnya representasi politik perempuan sudah barang tentu akan berdampak pada kontribusi maksimal yang bisa diberikan dalam pengambilan keputusan maupun untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan, baik di partai politik maupun parlemen.
Bagaimanapun harus disadari ada ''kelebihan'' perempuan dibandingkan dengan laki-laki adalah ketajamannya untuk melihat yang ''detial'' yang sering luput dari perhatian laki-laki. Padahal, itu seharusnya tampak dalam kebijakan publik yang diambil. Dengan kata lain, kepentingan kaum perempuan hanya mampu dipahami oleh perempuan. Terkait dengan hal itu, representativitas politik perempuan merupakan kebutuhan.
Ideologi patriarki, yakni yang meletakkan posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, yang dianut oleh masyarakat kita, menyebabkan peran perempuan dalam politik formal menjadi sulit. Rendahnya representasi perempuan di parlemen berpengaruh terhadap cara pandang dalam menyelesaikan masalah politik, ekonomi, maupun sosial di Indonesia.
Persoalan-persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI), kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, serta masalah kesehatan reproduksi, mustahil diselesaikan tanpa ada perubahan paradigma dalam kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan perempuan (Ani Soetjipto, Kompas, 23-9-2002).
Harus diakui tanpa jumlah yang signifikan, perempuan tetap tidak pernah dapat memengaruhi pembuatan kebijakan publik. Rendahnya tingkat keterwakilan mereka di lembaga pengambil/pembuat keputusan politik (lihat tabel) menyebabkan tidak terwakilinya aspirasi kepentingan perempuan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tidak sensitif gender adalah contoh dari tidak terwakilinya kepentingan aspirasi perempuan.
Pemberdayaan Perempuan
Representasi perempuan tidak saja berarti meningkatnya jumlah mereka dalam lembaga-lembaga politik formal, tetapi terutama terwakilinya kepentingan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Hal itu berarti tidak cukup hanya dengan peningkatan jumlah melalui kuota 30%, tetapi perlu pendidikan politik perempuan, sehingga wakil-wakil perempuan itu mampu menangkap isu-isu yang berkaitan dengan aspirasi kepentingannya.
Sangat menarik membaca laporan PBB bahwa di negara-negara yang mengalami tragedi malnutrisi gizi buruk, pada umumnya terjadi diskriminasi sosial terhadap perempuan. Atas dasar itu, direkomendasikan untuk melindungi hak-hak perempuan guna melindungi anak-anak dari ancaman malnutrisi (Swara, No 23, 29-7-1999).
Perjuangan untuk memperoleh hak-haknya itu dimulai dengan menjadi pemilih otonom, yakni memilih dengan kesadaran sendiri atas partai politik dan wakil-wakilnya yang punya komitmen terhadap kepentingan mereka. Diharapkan dengan UU Pemilu No 12/2003 akan ada perubahan yang signifikan atas keterwakilan perempuan di lembaga parlemen, baik dalam gagasan (representation in ideas), yakni ditunjukkan melalui adanya program-program partai politik yang sensitif gender, maupun dalam kehadiran (representation in presence). Diharapkan dengan keterwakilan itu akan ada perubahan yang signifikan pula atas nasib perempuan ke depan.(Dra Fitriyah MA, ketua KPU Jateng-69t).
Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga DPR (1955-1999)
Pemilu Jumlah Total Anggota
Anggota DPR Perempuan %
1955 272 - 17 6,3
1971 460 - 23 5,1
1977 460 - 33 7,2
1982 460 - 39 8,5
1987 500 - 50 10
1992 500 - 54 10,8
1997 500 - 58 11,6
1999 500 - 45 9,0
Sumber: Litbang Kompas (24-2-2003)
Peranan Perempuan dalam Politik Terbentur Budaya Patriarki
Solo, Kompas - Peranan perempuan dalam politik terutama dalam Pemilihan Umum 2004 mendatang masih terbentur pada budaya patriarki yang sudah mengakar di Indonesia. Budaya ini dapat menghambat aktivitas perempuan dalam berpolitik. Apalagi untuk perempuan yang sudah menikah.
Demikian diungkapkan Ketua Departemen Perempuan Partai Persatuan Oposisi Rakyat (PPOR) Vivi Widyawati dalam seminar Pemilu 2004 dan Peluang Politik Perempuan yang diselenggarakan Solidaritas Perempuan Untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK HAM) di Solo, Selasa (30/9).
Menurut Vivi, budaya patriarki telah menenggelamkan kaum perempuan tidak hanya dalam wilayah domestik, tetapi juga telah memasung kaum perempuan dengan menempatkan posisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya kaum perempuan. Perempuan juga tidak punya peranan dalam dunia politik.
"Untuk suatu perubahan agar perempuan mempunyai peranan dalam berpolitik atau mengubah budaya patriarki itu juga membutuhkan suatu proses. Apalagi, budaya patriarki ini sudah dialami oleh hampir semua perempuan dari kelas mana pun," papar Vivi.
Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Solo Hadi Rudyatmo menyatakan, jika kita mengukur partisipasi politik perempuan, tentang persamaan hak untuk memilih dan dipilih, terlihat bahwa perempuan lebih banyak digunakan sebagai alat untuk memobilisasi selama pemilu.
Hadi menjelaskan, dalam perjalanan sejarah pemilu yang sudah dilakukan enam kali, pilihan perempuan Indonesia bukanlah pilihan yang mandiri, tetapi ikut suami.
Perempuan tidak mandiri melakukan pilihannya. Misalnya saja dari penelitian Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS) Indonesia, pada Pemilu 1997 hanya 13 persen perempuan yang membuat pilihan politik secara independen dan 83 persen membuat pilihan politik berdasarkan referensi dari suami.
"Kebanyakan perempuan menganggap ikut serta dalam pemilu adalah sebagai kewajiban dibandingkan hak setiap warga negara yang bertanggung jawab," ungkap Hadi. (sie)
Sumber : Kompas, 02 Oktober 2003
Demikian diungkapkan Ketua Departemen Perempuan Partai Persatuan Oposisi Rakyat (PPOR) Vivi Widyawati dalam seminar Pemilu 2004 dan Peluang Politik Perempuan yang diselenggarakan Solidaritas Perempuan Untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK HAM) di Solo, Selasa (30/9).
Menurut Vivi, budaya patriarki telah menenggelamkan kaum perempuan tidak hanya dalam wilayah domestik, tetapi juga telah memasung kaum perempuan dengan menempatkan posisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya kaum perempuan. Perempuan juga tidak punya peranan dalam dunia politik.
"Untuk suatu perubahan agar perempuan mempunyai peranan dalam berpolitik atau mengubah budaya patriarki itu juga membutuhkan suatu proses. Apalagi, budaya patriarki ini sudah dialami oleh hampir semua perempuan dari kelas mana pun," papar Vivi.
Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Solo Hadi Rudyatmo menyatakan, jika kita mengukur partisipasi politik perempuan, tentang persamaan hak untuk memilih dan dipilih, terlihat bahwa perempuan lebih banyak digunakan sebagai alat untuk memobilisasi selama pemilu.
Hadi menjelaskan, dalam perjalanan sejarah pemilu yang sudah dilakukan enam kali, pilihan perempuan Indonesia bukanlah pilihan yang mandiri, tetapi ikut suami.
Perempuan tidak mandiri melakukan pilihannya. Misalnya saja dari penelitian Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS) Indonesia, pada Pemilu 1997 hanya 13 persen perempuan yang membuat pilihan politik secara independen dan 83 persen membuat pilihan politik berdasarkan referensi dari suami.
"Kebanyakan perempuan menganggap ikut serta dalam pemilu adalah sebagai kewajiban dibandingkan hak setiap warga negara yang bertanggung jawab," ungkap Hadi. (sie)
Sumber : Kompas, 02 Oktober 2003